Sabtu, 30 April 2022

Pengertian Nahwu dan Shorof

Pengertian Nahwu dan Shorof

1. Nahwu

Nahwu adalah ilmu yang mempelajari jabatan sebuah kata di dalam bahasa Arab dan mengetahui harakat akhirnya.

Contoh:

جَاءَ رَجُلٌ

Telah datang seorang laki-laki

رَأَيْتُ رَجُلاً

Aku telah melihat seorang laki-laki

مَرَرْتُ بِرَجُلٍ

Aku telah berpapasan dengan seorang laki-laki

Perhatikan harokat (رجل) dia berubah sesuai dengan perubahan jabatannya di dalam susunan kalimat sempurna dan ini adalah pembahasan ilmu nahwu.

2. Shorof

Shorof adalah ilmu yang mempelajari perubahan bentuk kata di dalam bahasa Arab.

Contoh

ضَرَبَ – يَضْرِبُ – ضَرْبًا

Artinya : Telah memukul- Sedang/Akan memukul-Pukulan

Dengarkan Audio

Pemutar Audio
00:00
00:00

 

Download Audio

01. Pengertian Nahwu dan Shorof

Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat (Musyrif Aam Pesantren MAQI)

Dhamir (Kata Ganti)

Dhamir (Kata Ganti)

KATA GANTI (DHOMIR)

Kaidah
اَلضَّمِيْرُ هُوَ مَا نَابَ عَنْ ظَاهِرٍ وَيَدُلُّ عَلَى مُتَكَلِّمٍ أَوْ مُخَاطَبٍ أَوْ غَائِبٍ, مِثْلُ : أَنَا, أَنْتَ, هُوَ

Dhomir adalah kalimat yang mengganti dari bentuk yang zhahir, dan menunjukkan kepada yang berbicara, yang diajak bicara atau yang dibicarakan.
Di dalam bahasa Indonesia dhomir disebut dengan kata ganti, dhomir merupakan bagian dari Isim.

 

Kaidah
اَلضَّمِيْرُ يَنْقَسِمُ إِلَى قِسْمَيْنِ :
1. ضَمِيْرٌ مُنْفَصِلٌ
2. ضَمِيْرٌ مُتَّصِلٌ
Dhomir terbagi dua yaitu:
1. Dhomir munfashil (berpisah)
2. Dhomir muttashil (bersambung)

Dhomir bisa berfungsi sebagai subjek, objek dan penunjuk kepunyaan tergantung kepada jenis dan kedudukannya di dalam sebuah jumlah adapun uraiannya akan dijelaskan pada artikel selanjutnya.

Dengarkan Audio

Pemutar Audio
00:00
00:00

 

Download Audio

Shorof Dasar 01

Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat (Musyrif Aam Pesantren MAQI)

Macam-macam Kalimat

Macam-macam Kalimat

Dengarkan Audio

Pemutar Audio
00:00
00:00

Kaidah

اَلْكَلِمَةُ هِيَ لَفْظٌ لَهُ مَعْنًى وَيَتَأَلَّفُ مِنْ بَعْضِ حُرُوْفِ الْهِجَائِيَّةِ.

Kalimat adalah lafadz yang mengandung makna dan terdiri dari sebagian huruf hijaiyyah.

Contoh: اَلْحَمْدُ (Pujian itu), نَعْبُدُ (Kami beribadah), بِ (Dengan).

Penjelasan

  1. Kalimat itu bisa terdiri dari susunan huruf-huruf hijaiyyah, atau kadang-kadang hanya terdiri dari satu huruf saja.
  2. Kalimat ini di dalam bahasa Indonesia disebut dengan kata.

 

Macam-macam Kalimat

Perhatikan diagram berikut ini!

 

Kalimat terdiri dari

  1. Isim (Kata benda)
  2. Fi’il (Kata kerja)
  3. Harf (Kata sambung)

Untuk penjelasan masing-masing kalimat akan diterangkan pada pertemuan selanjutnya

Semoga bermanfaat

Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat (Musyrif Aam Pesantren MAQI)

Ilmu Balaghah (Bagian 1)

Ilmu Balaghah (Bagian 1)

Kalâm dalam bahasa Arab atau kalimat dalam bahasa Indonesia adalah suatu untaian kata-kata yang memiliki pengertian yang lengkap. Dalam konteks ilmu balâghah kalâm terdiri dari dua jenis, yaitu kalâm khabar dan insyâi .

1. KALAM KHOBAR (BERITA/ KABAR)

A. Pengertian Kalam Khabar

Khabar ialah pembicaraan yang mengandung kemungkinan benar atau bohong semata-mata dilihat dari pembicaraannya itu sendiri. Jika seseorang mengucapkan suatu kalimat (kalâm ) yang mempunyai pengertian yang sempurna, setelah itu kita bisa menilai bahwa kalimat tersebut benar atau salah maka kita bisa menetapkan bahwa kalimat tersebut merupakan
kalâm khabar . Dikatakan benar jika maknanya sesuai dengan realita, dan dikatakan dusta (kadzb) jika maknanya bertentangan dengan realita. Contoh,

ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻄﺎﻟﺐ : ﻟﻦ ﻳﺤﻀﺮ ﺍﻷﺳﺘﺎﺫ ﺃﺣﻤﺪ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻨﺎﻗﺸﺔ ﻏﺪﺍ

Ucapan mahasiswa di atas bisa dikategorikan kalâm khabari . Setelah mahasiswa tersebut mengucapkan kalimat itu kita bisa melihat apakah ucapannya benar atau salah. Jika ternyata ustadz Ahmad keesokan harinya tidak datang dalam perkuliahan, maka ucapan mahasiswa tersebut benar. Sedangkan jika ternyata keesokan harinya ustadz Ahmad dating pada perkuliahan, maka kalimat tersebut tidak benar atau dusta.

B. Pembagian kalam khabar

Khabar ada 2 macam, yaitu jumlah fi’liyah dan jumlah ismiyah.

1). Jumlah fi’liyah biasanya digunakan untuk meletakkan suatu pekerjaan di dalam zaman tertentu tapi secara ringkas (tidak butuh lafadz bema’na zaman lagi). Contoh ketika kita akan memberitahukan khabar kedatangannya zaid dalam zaman tertentu (misal zaman yang sudah lewat), maka diucapkan ﺟﺎﺀ ﺯﻳﺪ . dan ketika hendak memberitahukan keberadaan zaid yang sebentar lagi akan datang, maka diucapkan
ﻳﺠﻲﺀ ﺯﻳﺪ

2). Sedangkan jumlah ismiyah penggunaannya adalah hanya sekedar ingin menetapkan musnad pada musnad ilaih saja, tidak memandang kapan pekerjaan tersebut terjadi.
Contoh ketika kita hanya sekedar memberi tahu mengenai berdirinya zaid saja, tidak bermaksud kapan toh berdirinya, maka diucapkan ﺯﻳﺪ ﻗﺎﺋﻢ .

C. Tujuan kalâm khabar

Setiap ungkapan yang dituturkan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan tertentu. Suatu kalâm khabari biasanya mempunyai dua tujuan, yaitu fâidah alkhabar dan lâzim al-faidah.

1) Fâidah al-khabar adalah suatu kalâm khabari yang diucapkan kepada orang yang belum tahu sama sekali isi perkataan itu. Contoh,

ﻛﺎﻥ ﻋﻤﺮﻭﺍﺑﻦ ﻋﺒﺪﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﻻ ﻳﺄﺧﺬ ﻣﻦ ﺑﻴﺖ ﺍﻟﻤﺎﻝ ﺷﻴﺄ ﻭﻻ ﻳﺠﺰﻱ ﻋﻠﻰ ﻧﻔﺴﻪ ﻣﻦ ﺍﻟﻔﻲﺀ ﺩﺭﻫﻤﺎ

Pada kalimat di atas mutakallim ingin memberi tahu kepada mukhâthab bahwa Umar bin Abdul Aziz tidak pernah mengambil sedikit pun harta dari baitul mal. Mutakallim berpraduga bahwa mukhâthab tidak mengetahui hukum yang ada pada kalimat tersebut.

2) Lâzim al-fâidah adalah suatu kalâm khabari yang diucapkan kepada orang
yang sudah mengetahui isi dari pembicaraan tersebut, dengan tujuan
agar orang itu tidak mengira bahwa si
pembicara tidak tahu.

ﺫﻫﺒﺖ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﺠﺎﻣﻌﺔ ﻣﺘﺄﺧﺮﺍ

Selain kedua tujuan utama dari kalâm kahabar terdapat tujuan-tujuan lainnya yang merupakan pengembangan dari tujuan semula. Tujuan-tujuan tersebut adalah sbb:

1) Istirhâm (minta dikasihi)
Dari segi bentuknya kalâm ini berbentuk khabar (berita), akan tetapi dari segi tujuannya mutakallim ingin dikasihi oleh mukhâthab . Contoh kalâm khabari dengan tujuan
istirhâm adalah do’a nabi Musa yang dikutip Alquran,

ﺭﺏ ﺇﻧﻰ ﻟﻤﺎ ﺃﻧﺰﻟﺖ ﺇﻟﻲ ﻣﻦ ﺧﻴﺮ ﻓﻘﻴﺮ

Tuhanku, aku ini sangat membutuhkan kebaikan yang Engkau berikan padaku.

2) Izhhâr al-dha’fi (memperlihatkan kelemahan)

seperti do’a Nabi Zakaria dalam Alquran.

ﺭﺑﻲ ﺇﻧﻰ ﻭﻫﻦ ﺍﻟﻌﻈﻢ ﻣﻨﻲ ﻭﺍﺳﺘﻌﻞ ﺍﻟﺮﺃﺱ ﺷﻴﺒﺎ

(Tuhanku sesungguhnya aku telah lemah tulangku dan kepalaku telah penuh uban )

3) Izhhâr al-tahassur (memperlihatkan penyesalan)

Seperti doa Imran bapaknya Maryam yang dihikayatkan dalam Alquran.

ﺭﺏ ﺇﻧﻲ ﻭﺿﻌﺘﻬﺎ ﺃﻧﺜﻰ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺃﻋﻠﻢ ﺑﻤﺎ ﻭﺿﻌﺖ

(Tuhanku, aku telah melahirkan ia wanita dan Allah mengetahui apa yang ia lahirkan ).

4) Al-Fakhr (sombong)

Seperti perkataan Amru bin Kalsum :

ﺇﺫﺍ ﺑﻠﻎ ﺍﻟﻔﻄﺎﻡ ﻟﻨﺎ ﺻﺒﻲ — ﺗﺨﺮ ﻟﻪ ﺍﻟﺠﺒﺎﺋﺮ ﺳﺎﺟﺪﻳﻨﺎ

( Jika seorang anak kami telah lepas menyusu, semua orang sombong akan tunduk menghormatinya ).

5) Dorongan bekerja keras

Dari segi bentuk dan isinya kalâm ini bersifat khabari (pemberitahuan), akan tetapi maksud mutakallim mengucapkan ungkapan tersebut agar mukhâthab bekerja keras. Contoh kalâm khabari untuk tujuan ini adalah surah Thahir bin Husain kepada Abbas bin Musa al-Hadi yang terlambat membayar upeti,

D. Jenis-jenis kalâm khabar

Kalâm Khabari adalah kalimat yang diungkapkan untuk memberitahu sesuatu atau beberapa hal kepada mukhâthab. Untuk efektifitas penyampaikan suatu pesan perlu dipertimbangkan kondisi mukhâthab.

Ada tiga keadaan mukhâthab yang perlu dipertimbangkan dalam mengungkapkan kalâm khabari. Ketiga keadaan tersebut adalah sbb:

1) Mukhâthab yang belum tahu apa-apa ( ﺧﺎﻟﻰ ﺍﻟﺬﻫﻦ )

Mukhâthab khâlidzdzihni adalah keadaan mukhâthab yang belum tahu sedikit pun tentang informasi yang disampaikan. Mukhâthab diperkirakan akan menerima dan tidak ragu-ragu tentang informasi yang akan disampaikan. Oleh karena itu tidak diperlukan taukîd dalam pengungkapannya. Bentuk kalâm khabari pada model pertama ini dinamakan kalâm khabari ibtidâî .
Contoh,
ﺍﻟﺴﻴﺎﺭﺓ ﺳﺎﻗﻄﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻮﺍﺩﻱ

2) Mukhâthab ragu-ragu ( ﻣﺘﺮﺩﺩ ﺍﻟﺬﻫﻦ )

Jika mukhâthab diperkirakan ragu-ragu dengan informasi yang akan kita sampaikan maka perlu diperkuat dengan taukîd. Keraguan mukhâthab bisa disebabkan dia mempunyai informasi lain yang berbeda dengan informasi yang kita sampaikan, atau karena keadaan mutakallim yang kurang meyakinkan.

Untuk menghadapi mukhâthab jenis ini diperlukan adat taukîd seperti ‘- ﺇﻥَّ – ﺃﻥ ﻗﺪ – ﻝ ’. Bentuk kalâm ini dinamakan kalâm khabari thalabi ﻃﻠﺒﻲ . ﺧﺒﺮ
Contoh,
ﺇﻥ ﺍﻟﺴﻴﺎﺭﺓ ﺳﺎﻗﻄﺔ

3) Mukhâthab yang menolak (ﺇﻧﻜﺎﺭﻯ)

Kadang juga terjadi mukhâthab yang secara terang-terangan menolak informasi yang kita sampaikan. Penolakan tersebut mungkin terjadi karena informasi yang kita sampaikan bertentangan dengan informasi yang dimilikinya. Hal ini juga bisa terjadi karena dia tidak mempercayai kepada kita. Untuk itu diperlukan adat taukîd lebih dari satu untuk memperkuat pernyataannya. Jenis kalâm model ini dinamakan kalâm khabari inkâri.
Contoh,
ﻭﺍﻟﻠﻪ ﺇﻥ ﺍﻟﺴﻴﺎﺭﺓ ﻟﺴﺎﻗﻄﺔ

Dari paparan di atas tampak bahwa penggunaan taukîd dalam suatu kalâm mempunyai implikasi terhadap makna. Setiap penambahan kata pada suatu kalimat akan mempunyai implikasi terhadap maknanya. Seorang filsuf Ya’qub bin Ishaq al-Kindi bertanya kepada Abu Abbas Muhammad bin Yazid al-Mubarrid, ”Saya menemukan sesuatu yang sia-sia dalam ungkapan Arab. Orang-orang berkata:

ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﺋﻢ , ﻭﺇﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻗﺎﺋﻢ , ﻭﺇﻥ ﻋﺒﺪ ﺍﻟﻠﻪ ﻟﻘﺎﺋﻢ

Lafadz Taukid (penguat) dengan menggunakan lafadz adalah : 1. ﺇِﻥَّ، ﺃَﻥَّ = Sesungguhnya 2. ﻻَﻡْ ﺇﺑْﺘِﺪَﺍﺀْ = Sungguh
3. Huruf Tanbih (Peringatan) seperti : ﺃَﻻَ، ﺃَﻣَﺎ (ingatlah) . 4. Huruf Qosam (sumpah).  5. Huruf Zaidah (tambahan).seperti ba’ zaidah.  6. Pengulangan lafadz (takrir).  7. ﻗَﺪْ = Sungguh, benar-benar.  8. ﺃَﻣَّﺎ yang menjadi Syarat.

Dan termasuk juga :

a. Menggunakan Jumlah ismiyah, karena itu lebih kuat dari pada jumlah Fi’liyyah.

b. Mendahulukan Fa’il maknawi contoh:

ﺍﻷﻣﻴﺮُ ﺣﻀَﺮَ

c. Lafadz ﺇﻧَّﻤَﺎ contoh :
ﺇﻧَّﻤَﺎ ﺧﺎَﻟِﺪٌ ﻗَﺎﺋِﻢٌ

d. Dhomir Fashol Contoh :
ﺯَﻳْﺪٌ ﻫُﻮَ ﺍﻟﻘَﺎﺋِﻢُ

2. KALAM INSYA’

A. Pengertian kalâm insyâi

Kata ‘ ﺇﻧﺸﺎﺀ ‘ merupakan bentuk mashdar dari kata ‘ ﺃﻧﺸﺄ ‘. Secara leksikal kata tersebut bermakna membangun, memulai, kreasi, asli, menulis, dan menyusun. Dalam ilmu bahasa arab insyâi merupakan salah satu nama mata kuliah yang mengajarkan menulis.

Insyâi sebagai kebalikan dari khabari merupakan bentuk kalimat yang setelah kalimat tersebut dituturkan kita tidak bisa menilai benar atau dusta. Hal ini berbeda dengan sifat kalâm khabari yang bisa dinilai benar atau dusta. Dalam terminologi ilmu ma’âni kalâm insyâ’i adalah,

ﻣﺎﻻ ﻳﺤﺘﻤﻞ ﺍﻟﺼﺪﻕ ﻭﺍﻟﻜﺬﺏ

Kalâm insyâi adalah suatu kalimat yang tidak bisa disebut benar atau dusta Jika seorang mutakallim mengucapkan suatu kalâm insyâi, mukhâthab tidak bisa menilai bahwa ucapan mutakallim itu benar atau dusta. Jika seorang berkata ‘
ﺇﺳﻤﻊ
Artinya dengarkanlah ‘, kita tidak bisa mengatakan bahwa ucapannya itu benar atau dusta. Setelah kalâm tersebut diucapkan yang mesti kita lakukan adalah menyimak ucapannya.

B. Pembagian Kalâm Insyâi

Secara garis besar kalâm insyâi ada dua jenis, yaitu insyâi thalabi dan insyâi
ghair thalabi . Kalâm yang termasuk kategori insyâi thalabi adalah Amr, nahyu, istifhâm, tamannî , dan nidâ .

Sedangkan kalâm yang termasuk kategori ghair thalabi adalah ta’ajjub, al-dzamm, qasam , kata-kata yang diawali dengan af’âl alrajâ. Jenis-jenis kalâm insyâi ghair thalabi tidak termasuk ke dalam bahasan ilmu ma’âni. Sehingga jenis-jenis kalimat tersebut tidak akan dibahas dalam buku ini. Insyâi thalabi menurut para pakar balâghah adalah,

ﻣﺎ ﻳﺴﺘﺪﻋﻲ ﻣﻄﻠﻮﺑًﺎ ﻏﻴﺮ ﺣﺎﺻﻞ ﻭﻗﺖ ﺍﻟﻄﻠﺐ ﻻﻣﺘﻨﺎﻉ ﺗﺤﺼﻴﻞ ﺍﻟﺤﺎﺻﻞ ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻤﻘﺼﻮﺩ ﺑﺎﻟﻨﻈﺮ ﻫﺎﻫﻨﺎ

Kalâm insyâi thalabi adalah suatu kalâm yang menghendaki adanya suatu tuntutan yang tidak terwujud ketika kalâm itu diucapkan.

Dari definisi di atas tampak bahwa pada kalâm insyâi thalabi terkandung suatu tuntutan. Tuntutan tersebut belum terwujud ketika ungkapan tersebut diucapkan. Kalimat-kalimat yang termasuk kategori insya thalabi adalah,

1. Amr

Secara leksikal amr bermakna perintah. Sedangkan dalam terminologi ilmu balâghah amr adalah,

ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﻷﺳﺘﻌﻼﺀ

Tuntutan mengerjakan sesuatu kepada yang lebih rendah .

Al-Hâsyimi (1960) mendefinisikan jumlah al-amr (kalimat perintah) sebagai tuturan yang disampaikan oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah agar melaksanakan suatu perbuatan, seperti
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan Alquran kepadamu (hai Muhammad) dengan berangsur-angsur. Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu ”

Untuk menyusun suatu kalâm amr ada empat shîgah yang biasa digunakan:

a) Fi’l al-amr

Semua kata kerja yang ber -shîgah fi’l amr termasuk kategori thalabi .
Contoh,
ﺧﺬ ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺑﻘﻮﺓ

Ambillah kitab itu dengan kuat!

b) Fi’l mudhâri’ yang disertai lâm alamr

Fi’il mudhâri’ yang disertai dengan
lâm al-amr maknanya sama dengan amr yaitu perintah. Contoh,

ﻟﻴﻨﻔﻖ ﺫﻭ ﺳﻌﺔ ﻣﻦ ﺳﻌﺘﻪ

Hendaklah berinfak ketika dalam keleluasaan

c) Isim fi’il amr

Kata isim yang bermakna fi’il (kata kerja) termasuk shigat yang membentuk kalâm insyâi thalabi .
Contoh,
ﺣﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺼﻼﺓ ﺣﻲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻼﺡ

(Mari melaksanakan shalat! Mari menuju kebahagiaan! )

d) Mashdar pengganti fi’il

Mashdar yang posisinya berfungsi sebagai pengganti fi’il yang dibuang bisa juga bermakna amr . Contoh,

ﺳﻌﻴﺎ ﻓﻰ ﺍﻟﺨﻴﺮ

(Berusahalah pada hal-hal yang baik )

Dari keempat shîgah tersebut makna amr pada dasarnya adalah perintah dari yang lebih atas kepada yang lebih rendah. Namun demikian ada beberapa makna Amr selain dari makna perintah.
Makna-makna tersebut adalah do’a , iltimâs (menyuruh yang sebaya ), tamannî (berangan-angan ),
tahdîd (ancaman), ta’jiz (melemahkan ),
taswiyah (menyamakan ), takhyîr (memilih ), dan ibâhah (membolehkan ).

● Amar yang keluar dari arti aslinya

Dan terkadang Sighot Amar itu keluar dari arti aslinya menjadi arti yang lain yang bisa dipahami dengan alur pembicaraan (Siyaqul kalam) dan Indikasi keadaan. seperti :

a. Do’a , (yaitu : menuntut suatu pekerjaan dengan cara merendah atau sopan, baik orang yang menuntut itu rendah atau tinggi ataupun sama derajatnya) contoh :
ﺃَﻭْﺯِﻋْﻨِﻲْ ﺃَﻥْ ﺃَﺷْﻜُﺮَ ﻧِﻌْﻤَﺘَﻚَ
Mohon Berikan  Ilham padaku untuk mensyukuri nikmat-Mu (Surat An-Naml : 19) .

b. Iltimas (yaitu : menuntut suatu pekerjaan secara halus tanpa adanya Isti’la’ atau merendahkan diri baik orang yang memerintah itu lebih tinggi derajatnya, atau lebih rendah atau sama). seperti ucapanmu terdapap teman sebayamu :  ﺃَﻋْﻄِﻨِﻲْ ﺍﻟﻜِﺘَﺎﺏَ = berikan padaku kitab itu .

c. Tamanni (yaitu : Perintah suatu perkara yang disenangi tanpa adanya sifat toma’), contoh :

ﺃَﻻَ ﺃَﻳُّﻬَﺎ ﺍﻟﻠَّﻴْﻞُ ﺍﻟﻄّﻮِﻳْﻞُ ﺃَﻻَ ﺍﻧْﺠَﻠِﻲْ ﺑِﺼُﺒْﺢٍ ﻭَﻣَﺎ ﺍﻹﺻْﺒَﺎﺡُ ﻣِﻨْﻚَ ﺑِﺄَﻣْﺜَﻞِ

Ingatlah, wahai Sang malam yang panjang!, tampakkanlah dengan waktu shubuh, dan tiadalah kenampakan waktu shubuh darimu itu lebih utama (disisiku).

d. Tahdid (Mengancam),
contoh :
ﺇِﻋْﻤَﻠُﻮْﺍ ﻣَﺎ ﺷِﺌﺘﻢْ
Kerjakanlah sesuka hati kalian ! (Maka kalian akan melihat balasannya dihadapan kalian ) . (Surat Fushilat : 40)

e. Ta’jiz (melemahkan) ,

Contoh :
ﻳَﺎ ﻟَﺒَﻜْﺮٍ ﺃَﻧْﺸِﺮُﻭْﺍ ﻟِﻲْ ﻛُﻠَﻴْﺒَﺎ ﻳَﺎﻟَﺒَﻜْﺮٍ ﺃَﻳْﻦَ ﺍَﻳْﻦَ ﺍﻟﻔِﺮَﺍﺭُ

Wahai Bakar, hidupkanlah kembali Kulaib, Hai Bakar dimana? dimana engkau akan lari?

f. Taswiyyah (menyamakan), Seperti Firman Allah :

ﺇﺻْﻠَﻮْﻫَﺎ ﺇِﺻْﺒِﺮُﻭْﺍ ﺃَﻭْ ﻻَ ﺗَﺼْﺒِﺮُﻭْﺍ ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢْ

Masuklah kalian ke dalamnya (rasakanlah panas apinya), Bersabarlah kalian ataukah janganlah sabar kalian, sama saja bagi kalian.
(Surat At-Thur : 16)

Karena terkadang disalah persepsikan bahwa sabar itu bermanfaat, maka hal itu mendorong untuk menyamakan bagi mereka antara sabar dan tidak dalam hal sama- sama tiada bermanfaat.

  1. Nahyu

Makna nahyu secara leksikal adalah melarang, menahan, dan menentang. Sedangkan dalam terminologi ilmu balâghah nahyu adalah,

ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻜﻒ ﻋﻦ ﺍﻟﻔﻌﻞ ﻋﻠﻰ ﻭﺟﻪ ﺍﻹﺳﺘﻌﻼﺀ

(Tuntutan meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi ).
Contoh: “Janganlah kamu sekalian mendekati zina! Sesungguhnya zina itu perbuatan keji dan jalan yang sejelek-jeleknya. (al-Isra:32)

Pada ayat di atas Allah swt melarang orang-orang beriman berbuat zina. Al-Hasyimi mendefinisikan jumlah alnahy (kalimat melarang) sebagai tuturan yang disampaikan oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah agar meninggalkan sesuatu perbuatan.

● Nahi yang keluar dari arti aslinya

Terkadang Sighot Nahi itu keluar dari arti aslinya menjadi arti yang lain yang bisa dipahami dari maqom/Keadaan dan alur pembicaraan (Siyaqul kalam). seperti :

a. Do’a , (yaitu : tuntutan untuk meninggalkan suatu pekerjaan dengan cara merendah atau sopan) contoh pada Firman Allah :
ﻓَﻼَ ﺗُﺸْﻤِﺖْ ﺑِﻲَ ﺍﻷَﻋْﺪَﺍﺀَ
Mohon Janganlah kau membuat gembira para musuh dengan melihatku (Surat Al-A’rof : 150) .

b. Iltimas (yaitu : Tuntutan meninggalkan suatu pekerjaan tanpa adanya Isti’la’ atau merendahkan diri). seperti ucapanmu terdapap teman sebayamu :
ﻻَﺗَﺒْﺮَﺡْ ﻣِﻦْ ﻣَﻜَﺎﻧِﻚَ ﺣَﺘﻰ ﺃﺭْﺟِﻊَ ﺇﻟَﻴْﻚَ

Janganlah kau pindah dari tempatmu, sampai aku kembali padamu .

c. Tamanni , contoh :

ﻳَﺎ ﻟَﻴْﻞُ ﻃُﻞْ ﻳَﺎ ﻧَﻮْﻡُ ﺯُﻝْ ﻳَﺎ ﺻُﺒْﺢُ ﻗِﻒْ ﻻَ ﺗَﻄْﻠُﻊْ

Wahai Malam, panjangkan waktumu, wahai tidur hilanglah, wahai Waktu subuh berhentilah, janganlah kau nampak.

d. Tahdid (Mengancam), Seperti ucapanmu kepada pelayanmu :
ﻻَ ﺗُﻄِﻊْ ﺃَﻣْﺮِﻱْ
Jangan kau patuhi perintahku !, (Maka akan kau rasakan akibatnya).

  1. Istifhâm

Kata‘ ﺍﺳﺘﻔﻬﺎﻡ ‘ merupakan bentuk
mashdar dari kata ‘ ﺍﺳﺘﻔﻬﻢ ‘. Secara leksikal kata tersebut bermakna meminta pemahaman/pengertian. Secara istilah istifhâm bermakna

ﻃﻠﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺑﺎﻟﺸﻲﺀ

(menuntut pengetahuan tentang sesuatu ).

Kata-kata yang digunakan untuk istifhâm ini ialah :

ﺃ – ﻫﻞ – ﻣﺎ – ﻣﻦ – ﻣﺘﻰ – ﺃﻳﺎﻥ – ﻛﻴﻒ – ﺃﻳﻦ – ﻛﻢ – ﺃﻱ – ﺃﻧﻲ

Suatu kalimat yang menggunakan kata tanya dinamakan jumlah istifhâmiyyah , yaitu kalimat yang berfungsi untuk meminta informasi tentang sesuatu yang belum diketahui sebelumnya dengan menggunakan salah satu
huruf istifhâm . Contoh kalimat tanya seperti:  (Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Alquran)
pada malam kemuliaan.
Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu ?)

Alat untuk bertanya :

ﺍﻟﻬﻤﺰﺓ، ﻫَﻞْ، ﻣَﺎ، ﻣَﻦْ ، ﻣَﺘﻰ، ﺃَﻳَّﺎﻥَ ، ﻛَﻴْﻒَ، ﺃَﻳْﻦَ ، ﺃَﻧﻰ، ﻛَﻢْ، ﺃﻱّ

Hamzah ( ﺃ )

Hamzah berfungsi untuk menuntut Tashowwur atau Tasdhiq.

Tashowwur adalah : mengetahui mufrod (sesuatu selain terjadinya penisbatan atau tidak) Seperti Ucapanmu :
ﺃَﻋَﻠِﻲٌّ ﻣُﺴَﺎﻓِﺮٌ ﺃَﻡْ ﺧَﺎﻟِﺪٌ
Apakah Ali itu Orang yang pergi ataukah Kholid ? .
dengan berkeyakinan bahwa bepergian itu dilakukan oleh salah satu dari keduanya, tetapi engkau menuntut kejelasannya, maka dari itu dijawab dengan menentukan salah satunya, semisal dijawab : “Ali”.
Tasdhiq yaitu mengetahui bahwa penisbatan antara dua perkara itu terjadi sesuai dengan fakta atau tidak.
Contoh :
ﺃَﺳَﺎﻓَﺮَ ﻋَﻠِﻲٌّ
Apakah Ali telah pergi? . engkau bertanya tentang terjadinya pekerjaan”bepergian” atau tidak ? maka dijawab dengan : ya atau tidak.
Sesuatu yang ditanyakan dalam Tashowwur itu Lafadz yang bersanding dengan hamzah dan adanya kata pembanding yang disebutkan setelah Am . Kata Am disini disebut : Am Muttasil . maka kamu akan mengucapkan ketika bertanya tentang Musnad ilaih : ”
ﺃَﺃَﻧْﺖَ ﻓَﻌَﻠْﺖَ ﻫَﺬَﺍ ﺃَﻡْ ﻳُﻮْﺳُﻒُ ؟
Apakah kamu telah mengerjakan ini ataukah Yusuf? . dan bertanya tentang Musnad :
ﺃَ ﺭَﺍﻏِﺐٌ ﺃَﻧْﺖَ ﻋَﻦِ ﺍﻷﻣْﺮِ ﺃَﻡْ ﺭَﺍﻏِﺐٌ ﻓِﻴْﻪِ

Apakah Kamu membenci perkara ini ataukah kamu menyukainya? .
dan bertanya tentang Maf’ul bih

ﺃَﺇِﻳَّﺎﻱَ ﺗَﻘْﺼِﺪُ ﺃَﻡْ ﺧَﺎﻟِﺪًﺍ ؟
Apakah aku yang engkau tuju ataukah kholid ?. dan bertanya tentang Hal :
ﺃَﺭَﺍﻛِﺒًﺎ ﺟِﺌﺖَ ﺃَﻡْ ﻣَﺎﺷِﻴًﺎ ؟
Apakah dengan berkendaraan engkau datang ataukah dengan berjalan kaki? .
dan bertanya tentang Dhorof :

ﺃَ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﺨَﻤِﻴْﺲِ ﻗَﺪِﻣْﺖَ ﺃَﻡْ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﺠُﻤْﻌَﺔِ ؟

Apakah pada hari kamis engkau datang ataukah pada hari jum’at? .
dan begitu seterusnya. dan terkadang tidak disebutkan kata pembandingnya. contoh :
ﺃَﺃَﻧْﺖَ ﻓَﻌَﻠْﺖَ ﻛَﺬَﺍ ؟
Apakah Kamu telah melakukan ini?
ﺃَ ﺭَﺍﻏِﺐٌ ﺃَﻧْﺖَ ﻋَﻦِ ﺍﻷﻣْﺮِ ؟
Apakah Kamu benci perkara ini? .
ﺃَ ﺇِﻳَّﺎﻱَ ﺗَﻘْﺼِﺪُ ؟
Apakah aku yang engkau tuju? .
ﺃَﺭَﺍﻛِﺒًﺎ ﺟِﺌﺖَ ؟
Apakah dengan berkendaraan kau datang? .
ﺃَﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟﺨَﻤِﻴْﺲِ ﻗَﺪِﻣْﺖَ ؟
Apakah pada hari kamis engkau datang? .
Sedangkan Sesuatu yang ditanyakan dalam Tashdiq adalah Nisbat (keadaannya dalam aspek terjadinya sesuatu atau tidak) serta tidak adanya Lafadz pembanding. maka apabila Am terletak setelah Jumlah yang menunjukkan suatu nisbat, maka am itu dikira-kirakan sebagai Am Munqoti’ (terputus) dan bermakna seperti Bal (bahkan).

ﻫَﻞْ

berfungsi untuk menuntut Tasdhiq saja.
Contoh :
ﻫَﻞْ ﺟَﺎﺀَ ﺻَﺪِﻳْﻘُﻚَ ؟
Apakah temanmu telah datang? . jawabnya adalah ya atau tidak.
maka dari itu tidak perlu menyebutkan Lafadz pembanding. maka tidak boleh diucapkan :
ﻫَﻞْ ﺟَﺎﺀَ ﺻَﺪِﻳْﻘُﻚَ ﺃَﻡْ ﻋَﺪُﻭُّﻙَ ؟
Apakah temanmu telah datang ataukah musuhmu? .  ﻫَﻞْ itu disebut Bashithoh , jika yang ditanyakan mengenai wujudnya sesuatu pada dzatnya. contoh :
ﻫَﻞْ ﺍﻟﻌَﻨْﻘَﺎﺀُ ﻣَﻮْﺟُﻮْﺩَﺓٌ ؟
Apakah burung Anqo’ itu ada? .
dan disebut Murokkabah , jika yang ditanyakan mengenai wujudnya sesuatu pada sesuatu yang lain. Contoh :
ﻫَﻞْ ﺗَﺒِﻴْﺾُ ﺍﻟﻌَﻨْﻘَﺎﺀُ ﻭَﺗُﻔْﺮِﺥُ ؟
Apakah burung Anqo’itu bertelur dan menetas ?

ﻣَﺎ

berfungsi untuk menuntut penjelasan suatu nama.

Contoh :  ﻣَﺎ ﺍﻟﻌَﺴْﺠَﺪُ ؟ = Apa ‘asjad itu? . (Maka dijawab : itu adalah emas)  ﻣَﺎ ﺍﻟﻠُّﺠَﻴْﻦُ ؟ = Apa Lujain itu? . (Maka dijawab : itu adalah perak)
atau berfungsi untuk menanyakan tentang hakikat suatu nama benda. Contoh :  ﻣَﺎ ﺍﻹﻧْﺴَﺎﻥُ ؟ = Apa hakikat Manusia itu? (dengan menanyakan hakikat perorangan pada manusia, maka dijawab : bahwa perorangan manusia tidak bisa bertambah pada hakikatnya kecuali adanya hal-hal yang baru) . atau berfungsi untuk menanyakan tentang keadaan(sifat) perkara yang disebutkan beserta ma . seperti ucapanmu kepada orang yang mendatangimu : ﻣَﺎ ﺃَﻧْﺖَ ؟  = Apa keperluanmu? (maka dijawab :”Aku berziaroh atau aku utusan dari Kholid” .

ﻣَﻦ
berfungsi untuk menuntut kejelasan tentang orang-orang yang berakal.

Contoh
ﻣَﻦْ ﻓَﺘَﺢَ ﻣِﺼْﺮَ ؟
Siapa Orang yang menahklukan Mesir? (maka dijawab : Amr bin Ash pada zaman pemerintahan Kholifah Umar bin Khotob) .

 ﻣَﺘَﻰ

berfungsi untuk menuntut kejelasan tentang waktu yang telah lewat atau yang akan datang (atau yang terjadi sekarang). Contoh :  ﻣَﺘﻰ ﺟِﺌﺖَ = Kapan Engkau datang ? (maka dijawab : Waktu sahur)  ﻰﺘَﻣَ ﺗَﺬﻫَﺐُ ؟ = Kapan kamu akan pergi?(maka dijawab : sekarang atau besok) .

 ﺃَﻳَّﺎﻥَ

berfungsi khusus untuk menuntut kejelasan masa yang akan datang. dan Lafadz ﺃَﻳَّﺎﻥ َ digunakan pada tujuan Tahwil (memandang besar suatu perkara).

Seperti Firman Allah :
  ﻳَﺴْﺄﻝُ ﺃَﻳَّﺎﻥَ ﻳَﻮْﻡُ ﺍﻟﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ ؟
Ia bertanya : kapankah Hari kiamat itu

ﻛَﻴْﻒَ
berfungsi untuk menuntut kejelasan tentang suatu keadaan.
Contoh :
ﻛَﻴْﻒَ ﺃَﻧْﺖَ ؟
Bagaimana keadaanmu? .

ﺃَﻳْﻦَ

berfungsi untuk menuntut kejelasan tentang suatu tempat.
Contoh :
ﺃَﻳْﻦَ ﺗَﺬْﻫَﺐُ ؟
ke mana engkau akan pergi? .

ﺃَﻧﻰ

berfungsi seperti Kaifa contoh :

ﺃﻧﻰ ﻳُﺤْﻲِ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑَﻌْﺪَ ﻣَﻮْﺗِﻬَﺎ ؟

Bagaimana Allah menghidupakan negeri ini setelah matinya (Ahli Qoryah) ?. (Surat Al-Baqoroh : 259) .

berfungsi seperti Min Aina contoh (dalam Surat Ali Imron : 37)
ﻳَﺎ ﻣﺮﻳﻢ ﺃَﻧﻰ ﻟَﻚِ ﻫَﺬَﺍ ؟
Hai Maryam, Dari manakah makanan ini? .
berfungsi seperti Mata contoh :
ﺃﻧﻰ ﺗَﻜُﻮﻥُ ﺯِﻳَﺎﺩَﺓُ ﺍﻟﻨَّﻴْﻞِ؟
Kapan bertambahnya sungai Nil? .

ﻛَﻢْ

berfungsi untuk menuntut kejelasan tentang suatu hitungan yang samar.
Contoh :
ﻛَﻢْ ﻟَﺒِﺜﺘﻢْ ؟
Berapa lama kalian berdiam diri? . (Surat Al-kahfi :19

ﺃَﻱّ

berfungsi untuk menuntut perbedaan salah satu dari dua perkara yang berkumpul dalam satu perkara yang mencakup keduanya.
Contoh :
ﺃَﻱ ﺍﻟﻔَﺮِﻳْﻘَﻴْﻦِ ﺧَﻴْﺮٌ ﻣَﻘَﺎﻣًﺎ ؟
Manakah Dua kelompok (Kafir dan Mu’min) yang lebih baik tempat tinggalnya ? . (Surat Maryam : 73)

Berfungsi juga untuk menanyakan tentang waktu, tempat, keadaan, hitungan orang yang berakal, dll dengan memandang pada lafadz yang disandarkan.

● Istifhâm yang keluar dari arti aslinya

Dan terkadang Lafadz-lafadz Istifham itu keluar dari arti aslinya menjadi arti yang lain, yang bisa dipahami dari alur pembicaraan (Siyaqul kalam). seperti :

a. Taswiyah (menyamakan),

contoh
ﺳَﻮَﺍﺀٌ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢْ ﺃَﺃﻧْﺬَﺭْﺗَﻬُﻢْ ﺃﻡ ﻟَﻢْ ﺗُﻨْﺬِﺭْﺀﻫُﻢْ

sama saja apakah kamu memperingatkan mereka atau tidak ? (Surat Al-Baqoroh :6)

b. Nafi (Meniadakan).

seperti:
ﻫَﻞْ ﺟَﺰَﺍﺀُ ﺍﻹﺣﺴَﺎﻥِ ﺇﻻ ﺍﻹﺣْﺴَﺎﻥُ
Tiadalah Balasan untuk berbuat kebaikan kecuali dengan berbuat kebaikan (Surat Ar-Rohman : 60) .

c. Ingkar (Mengingkari),

contoh :
ﺃَﻏَﻴْﺮَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺗَﺪْﻋُﻮْﻥَ ؟

Apakah pada selain Allah kalian menyembah ? (Surat Al-An’am :40)

ﺃَﻟَﻴْﺲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻜَﺎﻑٍ ﻋَﺒْﺪَﻩُ ؟

Bukankah Allah itu mencukupi Hamba-Nya ? (Surat Az-Zumar :36)

d. Amar (Perintah),

contoh :
ﻓَﻬَﻞْ ﺃَﻧﺘﻢ ﻣُﻨْﺘَﻬُﻮْﻥَ ؟
maka Berhentilah !. (surat Al-Maidah : 91)
ﺃَﺃَﺳْﻠَﻤْﺘﻢْ؟
Maukah masuk  islam ? !. (Surat Ali Imron : 20)

e. Nahi (Larangan),

Contoh :
ﺃَﺗَﺨْﺸَﻮْﻧﻬﻢْ ﻓَﺎﻟﻠﻪُ ﺃَﺣَﻖُّ ﺃَﻥْ ﺗَﺨْﺸَﻮْﻩُ ؟

= Apakah kalian takut pada mereka? Padahal Allah itu lebih berhak kalian takuti. (Surat At-taubah : 13

f. Tasywiq (Memotifasi),

contoh :
ﻫَﻞْ ﺃَﺩُﻟُّﻜُﻢْ ﻋَﻠَﻰ ﺗِﺠَﺎﺭَﺓٍ ﺗُﻨْﺠِﻴْﻜُﻢْ ﻣِﻦْ ﻋَﺬَﺍﺏٍ ﺃَﻟِﻴْﻢٍ ؟

Apakah Aku tunjukkan pada perdagangan yang menyelamatkan kalian dari siksa yang pedih ? (Surat Ash-Shof : 10).

g. Ta’dhim (Mengagungkan), contoh :

ﻣَﻦْ ﺫَﺍ ﺍﻟَّﺬِﻱْ ﻳَﺸْﻔَﻊُ ﻋِﻨْﺪَﻩُ ﺇِﻻَّ ﺑِﺈِﺫْﻧِﻪِ ؟

Siapakah yang bisa memberi syafa’at disisi Allah tanpa Idzin-Nya ? (Surat Al-Baqoroh : 255)

h. Tahkir (Menghina),

contoh :
ﺃَﻫَﺬَﺍ ﺍﻟﺬﻱْ ﻣَﺪَﺣْﺘَﻪُ ﻛَﺜِﻴﺮًﺍ ؟
Apakah hanya pada orang ini engkau sering memujinya ?.

Tamanni (Berharap)
Adalah : Menuntut sesuatu yang

  1. Nidâ ( panggilan)

Secara leksikal nidâ artinya panggilan. Sedangkan dalam terminology ilmu balâghah nidâ adalah,

ﻃﻠﺐ ﺍﻹﻗﺒﺎﻝ ﺑﺤﺮﻑ ﻧﺎﺋﺐ ﻣﻨﺎﺏ ” ﺃﻧﺎﺩﻯ
ﺃﺩﻋﻮ ” ﺍﻟﻤﻨﻘﻮﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﺨﺒﺮ ﺍﻟﻰ ﺍﻹﻧﺸﺎﺀ

Nidâ adalah tuntutan mutakallim yang menghendaki seseorang agar menghadapnya. Nidâ menggunakan huruf yang menggantikan lafazh “unâdî ” atau “ad’û ” yang susunannya di pindah dari kalâm khabari menjadi
kalâm insyâi .

Huruf nidâ ada delapan, yaitu,
hamzah ( ﺀ ), ay ( ﺃﻱ ), yâ ( ﻳﺎ ), â ( ﺁ ), â,
ﺁﻱ) ), ayâ ( ﺃﻳﺎ ), hayâ ( ﻫﻴﺎ ), dan wâ ( .( ﻭﺍ

Hamzah (ﺃ ) dan ﺃﻱْ untuk panggilan jarak dekat, sedangkan yang lainnya untuk panggilan jarak jauh.

Dan terkadang Panggilan jarak jauh diposisikan untuk panggilan jarak dekat, maka memanggil dengan Hamzah (ﺃ ) dan ﺃﻱْ untuk mengisarahkan bahwa karena sangat menginginkan kehadiran mukhotob dihati Mutakallim, maka seolah-olah mukhotob seperti orang yang hadir bersamanya, seperti ucapan Penyair

ﺃَﺳُﻜَّﺎﻥَ ﻧَﻌْﻤَﺎﻥَ ﺍﻷَﺭَﺍﻙِ ﺗَﻴَﻘَّﻨُﻮْﺍ ﺑِﺄَﻧَّﻜُﻢْ ﻓِﻲْ ﺭَﺑْﻊٍ ﻗَﻠْﺒِﻲْ ﺳُﻜَّﺎﻥُ

Wahai Penduduk Na’man Arok (Lembah antara makkah dan Thoif), percayalah kalian bahwa kalian itu berada pada tempat hatiku.

  1. Tamannî

Kalimat tamannî (berangan-angan) adalah kalimat yang berfungsi untuk menyatakan keinginan terhadap sesuatu yang disukai, tetapi tidak mungkin untuk dapat meraihnya, seperti:

“Ingin rasanya kami memiliki apa yang diberikan kepada Karun. Sesungguhnya dia benar-benar memperoleh keberuntungan yang besar”.

Dalam terminologi ilmu balâghah tamannî adalah,

ﻃﻠﺐ ﺍﻟﺸﻲﺀ ﺍﻟﻤﺤﺒﻮﺏ ﺍﻟﺬﻱ ﻻ ﻳﺮﺟﻰ ﻭﻻ ﻳﺘﻮﻗﻊ ﺣﺼﻮﻟﻪ

Menuntut sesuatu yang diinginkan, akan tetapi tidak mungkin terwujud. Ketidakmungkinan terwujudnya sesuatu itu bisa terjadi karena mustahil terjadi atau juga sesuatu yang mungkin akan tetapi tidak maksimal dalam mencapainya. Syi’ir di bawah ini merupakan contoh kalâm tamannî yang mengharapkan sesuatu yang mustahil terjadi,

ﺃﻻ ﻟﻴﺖ ﺍﻟﺸﺒﺎﺏ ﻳﻌﻮﺩ ﻳﻮﻣﺎ — ﻓﺄﺧﺒﺮﻛﻢ ﺑﻤﺎ ﻓﻌﻞ ﺍﻟﻤﺸﻴﺪ

Aduh, seandainya masa muda itu kembali sehari saja Aku akan mengabarkan kepada kalian Bagaimana yang terjadi ketika sudah tua

Pada syi’ir di atas penyair mengharapkan kembalinya masa muda walau hanya sehari. Hal ini tidak mungkin, sehingga dinamakan tamannî. Tamannî juga ada pada ungkapan yang mungkin terwujud (bisa terwujud) akan tetapi tidak bisa terwujud karena tidak berusaha secara maksimal. Dalam Alquran Allah berfirman,
ﻳﺎ ﻟﻴﺖ ﻟﻨﺎ ﻣﺜﻞ ﻣﺎ ﺃﻭﺗﻲ ﻗﺎﺭﻭﻥ

Aduh, seandainya aku dikaruniai harta
seperti Qarun.

Adalah : Menuntut suatu informasi atau pengetahuan atas terjadinya sesuatu dengan alat tertentu. disukai yang tidak bisa diharapkan terwujudnya karena merupakan hal yang mustahil atau sulit terjadinya.
Contoh ucapan Penyair :

ﺃَﻻَ ﻟَﻴْﺖَ ﺍﻟﺸَّﺒَﺎﺏَ ﻳَﻌُﻮْﺩُ ﻳَﻮْﻣًﺎ ﻓَﺎُﺧْﺒِﺮُﻩُ ﺑِﻤَﺎ ﻓَﻌَﻞَ ﺍﻟﻤَﺸِﻴْﺐُ

Ingatlah, seandainya pada suatu hari masa muda itu kembali, maka akan aku ceritakan padanya atas sesuatu yang telah dilakukan oleh masa tua.
Dan seperti ucapan orang miskin :

ﻟَﻴْﺖَ ﻟِﻲْ ﺃَﻟْﻒَ ﺩِﻳْﻨَﺎﺭٍ

Seandainya aku mempunyai uang seribu dinar !

Dan jika Perkara tersebut bisa diharapkan terwujudnya, maka mengandai-andai perkara tersebut disebut : Tarojji.
Contoh :
ﻟَﻌَﻞَّ ﺍﻟﻠﻪُ ﻳُﺤْﺪِﺙُ ﺑَﻌْﺪَ ﺫَﻟِﻚَ ﺃَﻣْﺮًﺍ

Semoga Allah menjadikan setelahnya perkara lain (yang menyenangkan).
Tamanni itu memiliki 4 alat :
Yang satu merupakan Kata Ashli yaitu :

  1. ﻟَﻴْﺖَ

Sedangkan yang tiga adalah Kata tidak Ashli yaitu :
2. ﻫَﻞْ
Contoh :

ﻓَﻬَﻞْ ﻟَﻨَﺎ ﻣِﻦْ ﺷُﻔَﻌَﺎﺀَ ﻓَﻴَﺸْﻔَﻌُﻮْﺍ ﻟَﻨَﺎ

Adakah bagi kami orang-orang yang menolong, sehingga menolong kami. (S. Al-A’rof : 52).

  1. ﻟَﻮْ
    Contoh :

ﻓَﻠَﻮْ ﺃَﻥَّ ﻟَﻨَﺎ ﻛَﺮَّﺓً ﻓَﻨَﻜُﻮْﻥَ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻤُﺆْﻣِﻨِﻴْﻦَ

Seandainya bagi kami bisa kembali ke dunia, maka kami akan beriman. (Surat Al-Baqoroh : 167).

  1. ﻟَﻌَﻞَّ

Contoh ucapan penyair (Abbas bin Ahnaf) :

ﺃَﺳْﺮِﺏَ ﺍﻟﻘَﻄَﺎ ﻣَﻦْ ﻳُﻌِﻴْﺮُ ﺟَﻨَﺎﺣَﻪُ – ﻟَﻌَﻠِّﻲْ ﺇِﻟَﻰ ﻣَﻦْ ﻗَﺪْ ﻫَﻮَﻳْﺖُ ﺃَﻃِﻴْﺮُ

Wahai Segerombol burung Qotho’, Siapakah yang mau meminjamkan sayapnya?, Seandainya aku bisa terbang menuju orang yang aku cintai
Karena menggunakan adat ini dalam Tamanni, maka fi’il mudhori’ yang jatuh setelahnya itu dinashobkan sebagai jawabnya.

Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat (Musyrif Aam Pesantren MAQI)

Ilmu Balaghah (Bagian 2) : Fashahah

Ilmu Balaghah (Bagian 2) : Fashahah

FASHĀHAH

Definisi Fashāhah

a. Fashāhah Menurut Etimologi (bahasa)
Menurut etimologi fashāhah berarti jelas, terang dan gamblang.
Kata “أَفْصَحُ ” pada ayat di atas berarti “lebih jelas cara berfikir dan bertutur kata”. Makna tersebut juga diungkapkan Rasulullah dalam sabdanya:
أَنَا أَفْصَحُ مَنْ نَطَقَ بِالضَّادِ
“Saya orang yang paling fasih (jelas/terang) berbahasa Arab.”

b. Fashāhah Menurut Terminologi (istilah)
Secara terminologi fashāhah menjadi sifat dari الكلمة, الكلام dan المتكلم, yang akan diterangkan di bawah ini .

Macam-macam Fashāhah

Fashohah meliputi tiga macam, yaitu:

A. Fashāhah al-Kalimah
Fashāhah al-Kalimah ( فصاحة الكلمة ) yaitu kalimah yang terhindar dariتنافر الحروف , مخالفة القياس , dan غرابة . Adapun :

1). Tanāfur al-Hurūf ( تنافر الحروف )
Yaitu kalimah yang terasa berat di lidah dan sulit untuk diucapkan.
Hal tersebut kemungkinan disebabkan hurufnya kalimah tersebut saling berdekatan makhrojnya, Seperti lafaz:الظُّش (tempat yang kasar),الهِعْخَعُ (tanaman yang dimakan onta), الُنقَّاخُ(air jernih dan tawar).
Atau karena kumpulnya sifat-sifat huruf yang berlawanan, seperti مُسْتَشْزِر (yang di kepang rambutnya).

2). Mukhālafah al-Qiyās ( مخالفة القياس )
Yaitu kalimah yang tidak mengikuti kaidah-kaidah ilmu Sharf.
Seperti: الأَجْلَلdi mana bentuknya yang baku berdasarkan ilmu sharf adalahالأَجَلُّ (di idghomkan). Sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ الْعَلِيِّ الأَجْلَلِ # الوَاحِدِ اْلفَرْدِ اْلقَدِيْمِ اْلأَوَّلِ
“Segala puji bagi Allah yang Maha Tinggi lagi Maha Agung # Yang Esa, Maha Kekal lagi Maha Permulaan.”
Contoh lain adalah kata بوقات (terompet), di mana bentuknya yang baku berdasarkan ilmu sharf adalahأبواق. sebagaimana disebutkan dalam sebuah syair:
فَإِنْ يَكُ بَعْضُ النَّاسِ سَيْفًا لِدْولَةٍ # فَفِي النَّاسِ بُوقَاتٌ لَهَا وَطََبُوْلٌ
“Jika sebagian manusia menjadi pedang negara # maka di antara mereka harus ada terompet dan genderang.”
Sebab jama’ nya بوق adalahأبواق bukanبوقات .
Contoh lain :
إنَّ بَنِىَّ لَلِئَامٌ زَهَدَهْ # مَالِىَ فِىْ صُدُوْرِهِمْ مِنْ مَوْدَدَهْ
Karena secara qiyas adalah di idghomkan menjadiمَوَدَّةٌ bukannya مَوْدَدَةٌ

3). Al-Gharābah(الغرابة )
Yaitu kalimah yang tidak jelas maknanya.
Maksudnya adalah lafadz arab tersebut asing ditelinga, tidak menggunakan bahasa arab yang sering beredar di kalangan orang arab. Sehingga, ketika lafadz arab yang asing tersebut diucapkan akan menyebabkan pendengar tidak paham dengan apa yang dimaksudkan. Seperti lafazتَكَأكَأ yang berarti berkumpul dan اِفْرَنْقعَ yang berarti bubar.
Contohnya, perkataan seorang badui (Arab pedalaman) yang jatuh dari kendaraannya dan dikerumuni orang banyak ( penduduk Arab kota yang bukan pedalaman), ia berkata :
مَا لَكُمْ تَكَأْكَأْتُمْ عَلَيَّ كَتَكَأْكُئِكُمْ عَلَى ذِي جِنَّةٍ افْرَنْقِعُوْا عَنِّيْ
“Kenapa kalian (penduduk Arab yang bukan pedalaman) berkumpul mengerumuni saya sebagaimana kalian berkumpul mengerumuni orang gila? Pergilah (bubarlah)!”
Perkataan Arab Badui تَكَأْكَأْتُمْ (berkumpul) itu tidak fashohah, sebab orang yang di omongi (penduduk Arab yang bukan pedalaman) tidak mudeng dengan ucapan tersebut. Karena orang arab asli menggunakan bahasa “berkumpul” dengan اجتمع , bukannya تكأكأ , sehingga sangat asing sekali ditelinga mereka.

 

B. Fashāhah al-Kalām
Fashāhah al-Kalām (فصاحة الكلام) yaitu kalam yang terhindar dari hal-hal berikut:

1). Tanāfur al-Kalimāt( تنافر الكلمات )
Yaitu susunan kalimah yang ketika berkumpul mengakibatkan sulit diucapkan karena makhraj-nya yang berdekatan atau karena penyebutan huruf secara berulang-ulang dalam suatu kalam. Seperti disebutkan dalam sebuah syair yang bercerita tentang letak kuburan Harb ibn Umaiyah:
وَقَبْرُ حَرْبٍ بِمَكَانٍ قَفْرٍ # وَلَيْسَ قُرْبُ قَبْرِ حَرْبٍ قَبْرُ
“Kuburan Harb (Harb ibn Umaiyah) di tempat yang tandus # Tidak ada dekat kuburan Harb (Harb ibn Umaiyah) kuburan.”
Lafadz قبر aslinya tidak sulit diucapkan, begitu juga denganحرب dan قفر tidaklah terasa berat di lidah. Namun, ketika lafadz-lafadz tersebut berkumpul barulah terasa berat di lidah.
Hal demikian juga berlaku pada bait ke dua. Pada bait kedua dari syair terdapat lafaz-lafaz yang makhrajnya saling berdekatan letaknya sehingga sulit diucapkan. Dan mengulang-ulang tiga huruf yaitu راء , قاف, dan باء dalam satu kalam ( قرب قبر حرب قبر).
Contoh lain dalam sebuah syair:
كَرْيمٌ مَتَى أَمْدَحُهُ أَمْدَحُهُ وَاْلوَرَى # مَعِيْ وَإِذَا مَا لُمْتُهُ لُمْتُهُ وَحْدِيْ
“Kapan saja aku memujinya, orang lain juga ikut memujinya # Kalau aku mencelanya, aku sendirian yang melakukan itu sementara orang lain tidak.”
Pada bait pertama dan kedua dari syair ini terdapat lafaz-lafaz yang disebutkan secara berulang-ulang yaitu أَمْدَحُهُ أَمْدَحُهُ dan لُمْتُهُ لُمْتُهُ.

2). Dha‘fu at-Ta’līf ( ضعف التأ ليف )
Yaitu adanya suatu kalam (susunan kata-kata) yang tidak mengikuti kaidah-kaidah ilmu nahwu yang disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama.
Seperti peletakan dhamir, maka menurut mayoritas ulama’ penyebutan dhomir harus jatuh setelah marji’nya. Tapi menurut sebagian Ulama’ (ابن حنى dan الأخفش) tidak apa-apa. Seperti disebutkan dalam sebuah syair:
جَزَى بَنُوْهُ أَبَا الغِيْلاَنِ عَنْ كِبَرٍ # وَحُسْنِ فِعْلٍ كَمَا يُجْزَى سِنِمَّارَ
“Anak itu membalas kebaikan Abu al-Gailan di waktu tua # Sebagaimana yang di perlakukan kepada seorang bernama Sinimmar.”
Peletakan Dhamīr Hu pada lafaz بَنُوْهُ menurut mayoritas Ulama’ adalah salah karena marji’nya (أَبَا الغِيْلاَنِ) berada di belakang, tapi oleh sebagian Ulama’ memperbolehkannya. Nah, inilah yang dinamakan ضعف التأليف.
Catatan :
· Apabila kalam tidak sesuai dengan pendapatnya jumhur Ulama’ maka dinamakan ضعف التأليف .
· Apabila kalam tidak sesuai dengan kesepakatannya semua Ulama’(متفق عليه) maka dinamakan kalam fasid, bukan ضعف التأليف . seperti جاء زَيْدٍ (fa’il dibaca jer), ini merupakan kalam fasid karena tidak ada satu pun Ulama’ yang berpendapat bahwa fa’il dibaca jer.
Contoh lain, penggunaan dhamīr muttashil setelah huruf إلا .
Seperti: .ما رأيت إلا ك Penggunaan tersebut salah karena tidak mengikuti kaidah baku dalam ilmu nahwu. Kalimatnya yang benar adalah: ما رأيت إلا أنت (Aku tidak melihat seorang pun kecuali engkau). Sebab dhomir muttashil itu tidak boleh dibuat permulaan kalam dan jatuh setelah إلا. Tapi masih ada sebagian Ulama’ yang memperbolehkannya, inilah yang dinamakanضعف التأليف .

3). At-Ta‘qīd
Ta’qid adalah Kalam yang tidak jelas apa maksudnya dan sulit untuk di fahami.
Adapun pembagian ta’qid itu ada dua macam:

a). Ta’qid al-Lafzhī ( التعقيداللفظي )
Yaitu kalam yang samar penunjukan maknanya (sulit di pahami), sebab adanya pendahuluan lafadz yang semestinya di akhirkan atau sebaliknya, atau sebab dipisah dan lain-lain (tidak disusun berdasarkan rangkaian makna yang semestinya).
Contok peletakan lafadz yang semestinya di depan tapi di sini di akhirkan sehingga kalam tersebut sulit di fahami. seperti :
جَفَخَتْ وَهُمْ لاَ يَجْفَخُوْنَ بهَا بِهِمْ # شِيَمٌ عَلىَ الْحَسَبِ الأَغَرِّ دَلائِلُ
Susunan kalimat ini salah karena tidak disusun berdasarkan rangkaian makna yang sesuai, sehingga kalam tersebut sulit untuk di cerna apa yang dimaksud. Adapun Susunan yang benar adalah:
جفخت بهم شيم دلائل على الحسب الأغر وهم لا يجفخون بها
Contoh lain:
مَا قَرَأَ إِلاَّ وَاحِدًا مُحَمَّدٌ مَعَ كِتَابًا أَخِيْهِ
Susunan kalimat ini salah karena tidak disusun berdasarkan rangkaian makna yang sesuai. Susunan yang benar adalah:
مَا قَرَأَ مُحَمَّدٌ مَعَ أَخِيْهِ إِلاَّ كِتَابًا وَاحِدًا
“Muhammad tidak membaca bersama saudaranya kecuali 1 buku saja.”

b). At-Ta‘qīd al-Ma‘nawī ( التعقيد المعنوي )
Yaitu penggunaan kata majaz atau kinayah yang tidak tepat. (tidak seperti biasanya). Ini biasanya terjadi pada susunan kata yang mempunyai uslūb al-majāz dan al-kināyah. Contohnya:
نَشَرَ المَلِكُ أَلْسِنَتَهُ فى المدينة
Raja itu menyebar (mengerahkan) lidah-lidahnya.
Maksudnya adalah mengerahkan telik sandi, kemudian di buatkan majaz “lidah-lidah” tapi majaznya tidak tepat. Karena biasanya telik sandi majaznya adalah mata-mata, bukan lidah-lidah. Majaz yang benar adalah:
نَشَرَ المَلِكُ عُيُوْنَهُ (جَوَاسِيْسِهِ)
“Raja itu mengerahkan mata-matanya.”
Contoh lain dalam sebuah syair disebutkan:
سَأَطْلُبُ بُعْدَ الدَّاِر عَنْكُمْ لِتقْرُبُوْا # وَتَسْكُبُ عَيْنَايَ الدُّمُوْعُ لِتَجْمُدَا
“Aku akan mencari tempat (rumah) yang jauh dari kalian agar kalian dekat di hati # Dan air kedua mataku berlinang karena akan berpisah.”
Kata تجمد yang artinya membeku dalam syi’ir tersebut digunakan untuk mengungkapkan perasaan bahagia dan gembira ketika berada dekat dengan sang kekasih. Padahal biasanya kata تجمد aslinya adalah kināyah untuk orang yang sedang sedih karena berpisah dengan kekasih.

c. Fashāhah al-Mutakallim ( Pembicara )
Fashāhah al-Mutakallim ( فصاحة المتكلم ), yaitu malākah (kecakapan/karakter) seseorang yang mampu mengungkapkan maksud dan tujuannya dengan kalam fashīh dalam semua situasi dan kondisi, serta mampu diungkapkan dengan kata-kata yang sesuai.
Setelah kalimah itu sudah fashih, kemudian kalimah2 tersebut disusun menjadi kalam yang fashih, barulah bisa mengungkapkan kalam fashih yang sesuai dengan tuntutan keadaan (مقتضى الحال) . inilah yang dinamakan بلاغة الكلام
Sedangkan orang yang mampu mengungkapkan kalam fashih yang sesuai dengan tuntutan keadaan (مقتضى الحال) dinamakan بلاغة المتكلم
Adapun yang dimaksudمقتضى الحال adalah
الحال keadaan yang mendorong mutakallim untuk mengungkapkan ibaroh dengan bentuk tertentu.
مقتضى tuntutan dalam penyampaian perkataan yang sesuai dengan kedaaan tertentu
Contoh:
Keadaan lagi merayu, menuntut seseorang untuk memperpanjang dan memperindah kata-kata.
Merayu adalah الحال
memperpanjang dan memperindah kata-kata adalahمقتضى
keadaan lagi terburu-buru, menuntut seseorang untuk memperpendek perkataan.
Seperti orang yang teriak “maling…..maling….”
Tidak mungkin orang tersebut memanjangkan perkataan dan berteriak “ hey orang-orang kampung desa sini rt 5 rw 6, ini ada maling yang lagi lewat di kampung ini”
terburu-buru adalah الحال
memperpendek perkataan adalah مقتضى

Adapun tanāfur bisa diketahui dengan penggunaan adz-dzauq al-lughawī(perasa), mukhālafah al-Qiyās dengan memahami ilmu Sharf, dha‘fu at-ta’līf dan at-ta‘qīd al-lafzhī dengan menguasai ilmu Nahwu, al-gharābah dengan banyak mengamati ungkapan-ungkapan Arab, at-ta‘qīd al-ma‘nawī dengan ilmu al-Bayān, muqtadhā al-hāl dengan ilmu al-Ma‘ānī.

Penulis : Ustadz Kurnia Lirahmat (Musyrif Aam Pesantren MAQI)