SEJARAH ILMU NAHWU
Bismillah, Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan umat manusia lalu menunjukkan kepada mereka jalan yang benar dengan islam. Alhamdulillah, yang telah menurunkan kitab-Nya dalam bahasa arab. Shalawat dan salam atas Muhammad rasul-Nya. Yang Dia utus dengan lisan kaumnya, yaitu bahasa arab.
Berbicara mengenai bahasa arab yang merupakan salah satu perantara utama dalam mempelajari agama islam, tentunya tidak lepas dari pembahasan tentang ilmu nahwu. Dengan menyadari pentingnya ilmu nahwu, tentu bisa meningkatkan kesadaran seseorang akan pentingnya bahasa arab itu sendiri. Dan disinilah peran sejarah. Karena perspektif manusia terhadap sesuatu bisa berkembang dengan mengetahui asal-usulnya. Buktinya, nilai barang hasil buatan tangan sendiri yang kita tahu betul prosesnya, tentu berbeda dengan barang hasil pungut.
Sebab Dibentuknya Ilmu Nahwu
Sebab utamanya adalah untuk menjaga bahasa arab itu sendiri. Seperti bahasa lainnya, bahasa arab juga lahir dari lisan warga negaranya atau dari perkataan-perkataan orang arab. Maka sebelumnya, orang arab sendiri tidak mengenal adanya ilmu nahwu. Mereka berbicara dengan fasih dan tanpa kesalahan, secara turun temurun dari bapak-bapak mereka dengan kualitas yang masih terjaga. Bahasa arab mencapai puncaknya di zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bisa dibilang masa itu adalah masa keemasan, dimana kualitas bahasa arab saat itu paling bagus. Di masa itu pula turun al-qur’an dengan kualitas bahasa arab terbaik sepanjang sejarah. Kemudian, pengaruh islam pun meluas tak hanya di daerah arab saja. Dan karena sejak awal islam lahir di daerah arab, bahkan nabi dan kitabnya pun menggunakan bahasa pengantar arab, maka orang-orang asing mulai berbondong-bondong mempelajari bahasa arab. Kemudian bercampurlah mereka dengan orang asing, baik dalam hubungan sehari-hari atau melalui perdagangan. Maka kesalahan-kesalahan berbicara awalnya banyak terjadi di kalangan orang asing, yang memang wajar karena mereka baru mulai mengenal bahasa arab. Lalu lambat laun, lisan arab juga ikut bercampur dengan bahasa asing. Berikutnya, terjadi pernikahan-pernikahan antara orang arab dengan orang asing yang kemudian melahirkan generasi baru yang bahasanya tidak lagi sebagus generasi sebelumnya.
Bahkan Abu Ath-Thayyib mengatakan bahwa lahn (kesalahan dalam berbicara) telah tampak bahkan sejak zaman nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Orang arab sendiri termasuk orang yang sangat menghargai bahasa mereka. Tentunya mereka tidak diam saja saat melihat bahasa mereka mulai memudar sedikit demi sedikit. Bahkan Abu Bakar berkata lebih baik dia membaca dan berhenti daripada dia membaca kemudian salah. Berkata Ibnu Qutaibah: “Seorang arab badui mendengar muadzin berkata: ‘asyhadu anna muhammadar rasulallah’, dengan kata rasul yang dinashabkan. Maka (orang arab badui tersebut) berkata: ‘Celaka! Apa yang dia lakukan?’…” (Terj. ‘Uyunul Akhbar, jilid 2, hal. 158)
Pencipta Ilmu Nahwu
Insyaallah yang pendapat paling rajih tentang siapa penemu ilmu nahwu adalah: Abu Al-Aswad Ad-Du’ali. Dalam salah satu riwayat darinya (Abu Al-Aswad Ad-Du’ali):
“Bahwa datang seorang Badui pada masa kekhalifahan Amirul Mukminin, Umar Ibn Al-Khattab, radhiallahu ‘anhu, maka dia berkata, “Siapa yang dapat membacakan padaku sesuatu (apapun) dari apa yang diturunkan Allah subhanahu wa ta’ala kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Maka seorang laki-laki membacakan Surat Baraa’ah (At-Taubah) kepadanya, dan dia membaca,
إِنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ المُشْرِكِينَ وَ رَسُوْلِهُ
Dengan jar (kata rasul athof kepada orang musyrik, yang artinya)“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya.”
Orang Badui itu berkata, “Apa sungguh Allah telah berlepas diri dari Rasul-Nya? Jika Allah Ta’ala telah berlepas diri dari Rasul-Nya, maka saya (juga) berlepas diri dari dia (Muhammad)”.
Kemudian sampai kepada Umar (berita) tentang pernyataan badui (tadi), maka dia memanggilnya, dan berkata: “Wahai badui, apakah kamu berlepas diri dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”. Dia (orang badui) berkata: “Wahai Amirul Mukminin, aku datang ke Madinah tanpa mengetahui Al-Qur’an, lalu aku bertanya: “Siapa yang (hendak) membacakan (al-qur’an) kepadaku?” Maka dia membacakan Surah Baraa’ah ini kepadaku, dan dia membaca: “Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya.” Kemudian aku berkata: “Apakah sungguh Allah telah berlepas diri dari Rasul-Nya? Jika Allah Ta’ala telah berlepas diri dari Rasul-Nya, maka saya (juga) berlepas diri dari dia (Muhammad)”. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Bukan seperti ini (bacaan ayat yang sebenarnya), wahai Badui.” Dia (orang badui) berkata: “Lantas bagaimana (bacaan yang benar), wahai Amirul Mukminin?” Maka dia (Umar) membaca:
إِنَّ الله بَرِيءٌ مِنَ المُشْرِكِيْنَ وَ رَسُوْلُهُ
(yang artinya:)“Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik, (dan begitupula) rasul-Nya (juga berlepas diri dari orang-orang musyrik).” Maka orang Badui itu berkata: “Adapun aku, demi Allah, aku berlepas diri dari orang-orang yang Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari mereka (orang-orang musyrik).”
Maka Umar radhiallahu ‘anhu memerintahkan bahwa tidak (boleh) membaca Al-Qur’an kecuali orang yang berilmu (paham) tentang bahasa. Lalu dia (Umar) memerintahkan Abu Al-Aswad Ad-Du’ali untuk meletakkan (menetapkan) kaidah nahwu.”
Wallahu a’lam.
REFERENSI:
- Al-Qa’idah Al-Asasiyyah Lilughatil ‘Arabiyyah, Ahmad Al-Hasyimi
- Nasy’atun Nahwi wa Tarikhu Asyhari An-Nuhat, Syaikh Muhammad Ath-Thanthawi