[30/3 07:04] Aing: Tanda-Tanda Isim
Terdapat 3 tanda isim,
yaitu:
Didahului oleh اَلْ
Semua kata yang di dahului oleh اَلْ adalah isim.
ال
yang dimaksud adalah syamsiyah dan qomariyah.
Contoh:
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَانِ الرَّحِيْمِ
di sini kata الرَّحْمَانِ
dan kata الرَّحِيْمِ
merupakan isim
karena didahului oleh ال
Memiliki harokat tanwin
( ٌ ٍ ً )
Contoh:
مثحَمَّدٌرَّسُوْلُ اللَّهِ
maka lafal مُحَمَّدٌ
merupakan isim
karena berharoka tanwin.
Didahului oleh huruf jar
Huruf jar adalah
huruf yang membuat kata setelahnya dibaca kasroh
Contoh huruf jar:
مِنْ
(dari)
dalam kalimat
مِنَ اللَّهِ ذِي الْمَعَارِجْ
maka lafadz lafdzul jalalah ( اللّهِ ) merupakan isim karena didahului oleh
huruf jar
اِلَي (ke)
dalam kalimat
وَاِلَي السَّمَآءِ كَيْفَ رُفِعَتْ
kenapa السَّمَآءِ dibaca kasroh? karena didahului oleh
huruf jar,
maka السَّمَآءِ merupakan isim.
[30/3 12:57] Aing: Serupa Tapi Tak Sama Antara Fi’il Mudhori
dengan Isim Fa’il
Bismillah..
Ternyata,
fi’il mudhori dan isim fa’il memiliki kemiripan
dan karena kemiripan inilah fi’il yang asalnya mabni menjadi mu’rob.
Apa saja kemiripannya?
Dari sisi kesamaran waktu. Dari semua jenis fi’il,
hanya fi’il mudhori
yang waktunya belum spesifik.
Fi’il madhi,
khusus digunakan untuk waktu lampau.
Sedangkan
fi’il amr
digunakan untuk kejadian-kejadian diwaktu yang akan datang.
Adapun
fi’il mudhori,
ia bisa menunjukkan waktu sekarang dan mendatang.
Begitu juga dengan
isim fa’il,
dia bisa bermakna sekarang, bisa juga bermakna mendatang.
Misalnya:[أَنَا جَالِسٌ]
Dia dapat bermakna
‘Saya sedang duduk’
atau bisa juga bermakna ‘Saya akan duduk’
2. Sama-sama merofa’kan
fa’il dan menashobkan
. maf’ul bihi. Misalnya
:زِيْدٌ ذَاهِبٌ أبُوْهُ زَيْدٌ يَذْهَبُ أَبُوْهُ Maka Abuuhu adalah
fail dari isim fa’il dzaahibun dan
maknanya sama dengan kalimat
‘Zaidun yadzhabu
Serupa Tapi Tak Sama Antara Fi’il Mudhori
dengan Isim Fa’il
Contoh lainnya
[زَيْدٌ ضَارِبٌ عَمرًا]
Maka ‘Amron‘ adalah
maf’ul bih dari isim fail
yaitu ‘Dhooribun‘.
Sama halnya kita mengucapkan
[زَيدٌ يَضْرِبُ عَمْرًا]
Amron adalah
maf’ul bih dari ‘yadribu‘. Tidak bisa kita tulis
[زَيْدٌ ضَرَبَ عَمْرًا].
3. Sama-sama bisa
didahului oleh
Lam Taukid.
Misalnya [إِنِّيْ لَأَذْهَبُ]
atau [إِنِّيْ لّذَاهِبٌ].
Adapun fi’il madhi atau amr, keduanya tidak pernah bisa didahului oleh Lam Taukid.
4. Kesamaan dari sisi lafadz.
Misalnya antara [َجَالِسٌ]
dengan [يَجْلِسُ]
ini mirip baik dari segi jumlah hurufnya, harakatnya, maupun sukunnya.
Misalnya [يُكْرِمُ]
mirip dengan [مُكْرِمٌ] ataupun [يُسَافِرُ] dengan [مُسَافِرٌ].
Kunci kemiripan ada pada huruf didepannya.
Dari semua fi’il,
yang punya huruf tambahan didepan adalah
fi’il mudhori saja
yaitu [أ, نـ, يـ, تـ].
Tanpa huruf ini,
ia tak akan mirip isim
dari sisi lafadz.
Karena itulah dia dinamakan huruf mudhoro’ah,
yaitu
huruf yang menggenapi fi’ilnya
agar menjadi mirip dengan isim.
Fi’il tidak butuh i’rob.
Maka
i’robnya fi’il
bukanlah karena perubahan fungsi didalam kalimat melainkan
semata-mata karena kemiripannya dengan isim.